Selasa, 30 September 2014

SEDIKIT RASA MANIS
oleh Afifa Nursari



            MOS (Masa Orienstasi Siswa). Yup! Sebuah kata yang sangat singkat tapi bermakna menakutkan menurutku. Akhir-akhir ini aku sering pusing memikirkan kata itu. Entah apa yang ada dipikiranku, tapi yang jelas menurutku MOS adalah sebuah kata yang secara tidak langsung berujung pada penyiksaan dan korban tragis para panitia MOS.
Apalagi jika menyangkut pasal tentang senior, dijamin tidak ada satupun junior yang berani membantah perkataan seniornya.
Matahari bersinar terang. Perlahan masuk sinar matahari melalui sela-sela gorden kamarku yang bermotif bunga tulip. Selimut polkadot kesayanganku masih setia menemani. Tetapi ada satu hal yang aku lupa.
“Sayaang... ini sudah jam 6 lewat lima belas menit. Kamu lupa ya? Ini kan hari pertama MOS.” teriak mama dari luar kamar.
Oh tuhan! Bagaimana bisa aku bangun kesiangan di hari yang sangat mengerikan ini? Hari ini adalah hari pertama MOS.
“Iya, mama sayang. Kiran sudah bangun kok.” balasku dengan mata yang masih menutup.
            Dengan rasa malas yang menempel dalam tubuhku, akhirnya kurelakan untuk meninggalkan selimut polkadotku demi menyambut hari yang mengerikan ini. Ditengah perjalanan menuju sekolah baruku, yang ada dipikiranku adalah bertemu dengan kakak senior dengan wajah galak dan menyeramkan laksana serigala didalam hutan. Membayangkannya saja aku tidak berani, apalagi bertatap muka secara langsung.
            SMA Bunga Pertiwi merupakan sekolah favorit dikotaku. Tidak semua orang bisa bersekolah di sekolah ini. Mungkin karena keberuntungan, takdir atau apalah, sehingga aku bisa bersekolah disekolah ini. Tetapi sebelum aku bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi murid disekolah ini, aku harus bisa melewati sebuah tahap yang amat sangat susah untuk melewatinya yaitu MOS. Oh tuhan!
             “Tuhan, bantulah aku dalam melewati hari ini. Semoga semua yang aku bayangkan tidak menjadi nyata. Amin!” ucapku pelan.
“Amin!!!” jawab Viona.
“Eh, kok tiba-tiba kamu ada disini? Mobil aku kan baru aja sampai. Kok kamu bisa ada disamping mobilku?” tanyaku dengan rasa keheranan yang berlebihan.
            “Santai aja, Kiran! Tadi waktu aku jalan menuju lobby sekolah ini, nggak sengaja aku lihat mobil kamu parkir. Jadi langsung aja aku nyamperin kamu.” jawab Viona dengan santai.
 “Oh, aku pikir kamu ngikutin mobil aku dari belakang.” jelasku.
“Huuuu, emang kamu pikir aku fans kamu. Eh, kita langsung menuju ke lapangan aja yuk! Ini sudah jam 7 lewat.” ajak Viona.
“Baiklah Viona cantik.” jawabku.
            Viona adalah satu-satunya sahabat yang aku punya. Dia rela datang ke rumahku hanya untuk mendengarkan isi hatiku. Dia juga rela mengajariku mengejarkan tugas Kimia yang menumpuk. Menurutku dia adalah tipe seorang sahabat yang sangat aku dambakan sekaligus diinginkan setiap orang. Dia juga tipe seorang cewek yang ceria, ramah, tidak sombong, rajin menabung dan rajin mengerjakan pr.
            “Kiran Vania dari SMP Tunas Bangsa masuk dikelompok Pattimura. Lidya Alviona dari SMP Tunas Bangsa masuk dikelompok Pattimura.” jelas panitia Mos.
 “Yeey, ternyata kita masuk dalam kelompok yang sama!” ucapku girang.
“Ternyata doaku tadi pagi terkabul! Terima kasih Tuhan!” jawab Vania.
“Kelompok Pattimura masuk kedalam ruang Himalaya.” jelas panitia MOS.
“Mari Kiran! Kita langsung meluncur ke ruang Himalaya.” ajak Viona.
“Ok, Vania!” jawabku dengan bersemangat.
            Beberapa menit kemudian kami sudah sampai didepan ruang Himalaya. Ternyata sudah banyak peserta MOS lain yang sudah sampai lebih dulu dari kami. Tetapi mereka semua belum dipersilahkan masuk. Kami semua diminta berbaris terlebih dahulu sebelum memasuki ruangan.
“Baiklah adik-adik, sebelum memasuki ruangan ada baiknya kalian untuk berbaris terlebih dahulu. Dalam hitungan ketiga, kalian sudah berbaris dengan rapi! Satu! Dua!” perintah panitia MOS.
“Cepaaat! Gesiiit!” teriak panitia MOS yang lain.
            Hal semacam ini tidak pernah terpikirkan oleh. Ternyata selain dibully, kami juga dilatih untuk melakukan sesuatu dengan sigap dan gesit. Dengan tergesa-gesa akhirnya aku berhasil masuk kedalam ruangan dengan tempo yang cepat. Tetapi sebelum masuk kedalam ruangan, sebelumnya kami diberi ID card yang berisi identitas kami. Termasuk nama lengkap, asal sekolah dan tanggal lahir.
            “Untuk yang berada didalam ruangan ini, tidak ada satupun peserta MOS yang duduk sebangku dengan teman yang asal sekolahnya sama!” perintah panitia MOS.
“Siap! Terima kasih!” jawab kami dengan lantang.
“Gesiit!” teriak panitia MOS.
Aku yang tadinya duduk sebangku dengan Viona kini berganti dengan seorang cewek berkulit putih dengan hidung mancung. Tidak sengaja saat kulihat namanya di ID card, ternyata cewek berkulit putih dengan hidung mancung ini bernama Della Mutiara. Sebuah nama yang cantik menurutku.
            “Hai, perkenalkan namaku Kiran Vania!” kenalku.
“Hai Kiran! Namaku Della Mutiara. Senang berkenalan denganmu!” balasnya dengan senyuman semanis madu.
Senyum manisnya membuat murid yang duduk dibelakangku terpana melihatnya. Mungkin dia terjebak dalam cinta pada pandangan pertama. Wah...wah... senyumnya yang manis memang tidak dapat dipungkiri. Belum lama aku menikmati udara sejuk di dalam ruangan ini, tiba-tiba saja panitia MOS memanggilku.
“Hei kamu yang duduk didepan yang memakai bando ungu, ayo maju ke depan!” perintah panitia MOS.
“Ummm, saya kak?” tanyaku.
“Iya kamu. Emang ada cewek lain diruangan ini yang pake bando ungu selain kamu?” balas panitia MOS dengan wajah galak.
“Oh, iya kak” jawabku singkat.
Aku akhir maju didepan ruangan kelas dengan wajah yang masih malu-malu kucing.
            “Eh kamu, kenapa kamu tadi ngobrol? Emang ada yang nyuruh kamu untuk ngobrol?” tanya panitia MOS dengan galak.
“Ummm... ummmm...” jawabku sambil berpikir.
“Ayo jawab! Jawab pertanyaan gampang aja kok repot.” paksa panitia MOS dengan mata membelalak.
“Nggak ada kak.” jawabku sambil menunduk.
“Karena kamu sudah membuat kesalahan yang fatal, sebagai hukumannya kamu harus menyanyi!” perintah panitia MOS.
            “Hah??? Menyanyi???” jawabku sambil kebingungan.
“Iya menyanyi, emang salah? Kalo nggak mau nyanyi, berarti kamu siap untuk push up sebanyak 20 kali. Gimana?” ancam panitia MOS sambil menaikkan alisnya yang sebelah kiri.
“Eh, nggak kak. Makasih atas tawarannya. Aku pilih menyanyi aja deh.” jawabku dengan wajah memelas.
Akhirnya dengan wajah terpaksa, kurelakan semua orang mendengarkan suara emasku yang selembut kain sutera. Diam-diam tanpa sepengetahuanku, salah satu panitia MOS dengan model rambut dipotong cepak memperhatikanku sedari tadi. Namanya Julian Adrian. Postur tubuhnya tinggi dengan warna kulit sawo matang plus kacamata dengan frame berwarna hitam. Dilihat dari fisiknya, bisa ditebak jika dia adalah salah satu anggota dari ekskul Paskibra. Yup! Tipe seorang cowok yang sangat diinginkan oleh setiap cewek.
            “Suara kamu lumayan juga. Udah sana duduk. Lama-lama bosen juga liat muka kamu yang abstrak.” perintah panitia MOS.
“Iya, kak. Makasih. jawabku sambil tersenyum kecut.
“Baiklah adik-adik, sekarang saatnya kami kakak panitia MOS untuk memperkenalkan diri. Sebelumnya apakah ada yang tahu nama kami atau salah satu diantaranya?” tanya panitia MOS.
“Belum, kak!” jawab kami serentak.                     
            “Baiklah kami menjadi mentor kalian selama mengikuti acara MOS ini. Kalian mempunyai 3 orang kakak mentor. Nama saya Yasmin Adelia dari kelas XI IPA 2. Disini saya mempunyai dua orang rekan yang sangat manis. Silahkan!” ucap panitia MOS yang bernama Yasmin Adelia.
“Perkenalkan nama saya Nino Hamzah dari kelas XI IPS 2.” jelas kak Nino.
“Baiklah saya kakak mentor kalian yang terakhir. Perkenalkan nama saya Julian Adrian dari kelas XI IPA 4.” jelas kak Julian dengan wajah sumringah.
            Saat itu aku masih kesal dengan ulah kak Yasmin yang sangat menjengkelkan bagiku, tetapi saat aku menatap kedepan dan melihat wajah kakak panitia MOS yang terakhir memperkenalkan diri semuanya menjadi berubah. Seakan ada sesuatu yang membuatku menjadi lebih berwarna. Ada sebuah cahaya yang menyinari perasaanku saat menatap wajah kakak panitia MOS yang satu ini. Mungkin ini namanya yang disebut dengan first love. Jujur, sebelumnya aku belum pernah merasakan hal ini. Tetapi saat aku menatap wajah kak Julian, ternyata dia menatap balik wajahku.
Spontan aku mengalihkan pandanganku. Wajahku memerah, tetapi kuberanikan untuk menatap lagi wajah kak Julian. Barangkali tadi hanya imajinasiku saja. Diluar dugaan, ternyata kak Nino malah memberikan senyum simpul kepadaku. Aku sontak kaget, tetapi senyum kak Nino kubalas dengan sebuah senyuman yang tidak kalah manis dengan senyumnya. Oh tuhan! Inikah yang namanya love? Belum sempat memikirkannya, tiba-tiba kak Yasmin menjelaskan sesuatu.
“Ehem… ehem… untuk kalian peserta MOS, hari ini dari pukul 09.00 sampai pukul 11.00 kalian diminta untuk meminta tanda tangan seluruh pengurus OSIS. Jumlah pengurus OSIS adalah 20 orang dan semuanya menjadi panitia MOS. Apabila diantara kalian ada yang tidak lengkap tanda tangannya, bersiap-siap menerima hukuman dari kami. Paham?” jelas kak Yasmin.
“Pahaaam, kak!” jawab kami.
            “Hah??? Tanda tangan anggota OSIS, itu artinya aku akan meminta tanda tangan kak Julian.” kataku dalam hati.
Tapi dibalik semua itu aku mendapatkan sebuah kebahagiaan yang tidak biasa.
“Tuhan, semoga aku bisa mendapatkan tanda tangan kak Julian dan semua tanda tangan seluruh pengurus OSIS.” ucap lembut.
Tiba-tiba kak Nino memberikan isyarat bahwa 2 menit lagi acara meminta tanda tangan akan dimulai.
“Baiklah mulai sekarang kalian diperbolehkan untuk meminta tanda tangan pengurus OSIS.” jelas kak Nino.
            Tetapi tanpa aku sadari ternyata perasaanku bagaikan gayung bersambut. Tanpa aku ketahui ternyata sepasang bola mata memperhatikanku dari sudut sana. Ya, ternyata kak Julian sejak tadi terus memperhatikanku. Bahkan dia juga berusaha untuk mencari info tentangku tanpa aku ketahui.
“Viona sudah berapa banyak kamu mendapatkan tanda tangan?” tanyaku kepada Viona sambil berlari.
“Aku sudah mendapatkan semuanya. Tanda tanganmu sudah berapa?” Viona balik bertanya.
“Masih kurang 2 tanda tangan lagi, Viona. Tanda tangan kak Nino dan kak Julian. Kira-kira mereka berdua ada dimana ya?” tanyaku.
            “Tadi aku melihat mereka berdua ada dipinggir kolam didepan Lab. Biologi. Semangat! Kamu pasti bisa!” teriak Viona.
“Iya, Viona. Makasih atas infonya.” jawabku.
Dengan tergesa-gesa aku berlari menuju Lab. Biologi. Benar saja, ternyata kak Nino dan kak Julian masih berada dipinggir kolam. Tetapi mereka juga masih dikerumuni oleh peserta MOS lain yang ingin mendapatkan tanda tangan mereka berdua. Ternyata sial menghinggapi nasibku hari ini. Tanpa aku sadari ternyata didepanku ada sebuah kulit pisang. Alhasil, aku terjerembab didepan sepatu kak Julian. Wajahku langsung memerah. Kak Julian hanya tersenyum melihat ulahku.
“Makanya kalo jalan pake mata. Ini kakak ada plester obat buat kamu.” saran kak Julian.
“Makasih kak!” jawabku.
Tuhan, inikah sebuah anugerah terbesar yang kau berikan kepadaku? Ternyata dibalik postur tubuhnya yang ideal, ternyata sikapnya juga ideal.
“Plester obat ini tidak akan aku buang. Plester obat ini akan aku simpan.” ucapku dalam hati.
Akhirnya aku berhasil mendapatkan semua tanda tangan pengurus OSIS. Tetapi sepertinya waktu tidak mendukung. Ketika kulirik Albaku, ternyata waktu menunjukkan bahwa sekarang pukul 11.15. Terlambat 15 menit! Tuhan, usir kesialan yang menghinggapi nasibku hari ini. Setibanya diruangan aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam. Ternyata kak Yasmin menghadangku di depan pintu ruangan. Beragam pertanyaan yang menurutku terus mencercaku.
            “Eh kamu, kamu nggak tahu ini sudah pukul berapa? Tahu nggak?” tanyanya sambil sedikit membentak.
“Tahu, kak.” jawabku dengan suara lirih.
“Udah Yasmin, jangan hukum dia. Tadi dia jatuh didepanku, kakinya luka.” jelas seseorang dengan suara berwibawa.
Dari suaranya aku mulai hafal, dia adalah malaikat tanpa sayapku hari ini. Yup! Itu suara kak Julian. Ternyata tuhan sangat baik kepadaku hari.
            “Makasih kak.” jawabku dengan senyum manis.
“Sama-sama. Lain kali kamu harus lebih hati-hati.” balasnya dengan suara yang tegas.
Tidak terasa sudah saatnya waktu pulang.
“Baiklah adik-adik, sebelum kita pulang mari kita berdoa terlebih dahulu.” ujar kak Nino.
Suasana ruangan seketika menjadi hening. Kami satu persatu keluar dari ruangan dengan berbagai perasaan yang berbeda. Viona sudah lebih dulu pulang karena mamanya sudah menjemputnya. Tidak terasa sudah satu jam lebih aku menunggu mobil jemputan, tetapi tidak kunjung datang juga. Sekolah perlahan menjadi sepi. Motor di parkiran juga perlahan menjadi sedikit. Hanya ada sebuah motor berwarna merah hati dengan plat B 1872 EZ. Aku masih duduk termangu ditaman dekat gerbang sekolah.
Matahari mulai masuk keperaduannya. Tiba-tiba ada seorang laki-laki dengan postur tubuh tinggi dekat jaket berwarna merah terang memasuki area parkiran. Ketika melewati taman dekat gerbang sekolah, motor tersebut berhenti. Laki-laki tersebut menghampiriku, kemudian membuka kaca helm yang berwarna hitam gelap.
“Kamu belum pulang? Ini sudah mau maghrib lho.” jelasnya.
Ternyata laki-laki tersebut adalah kak Julian, jangan-jangan kak Julian akan menawarkan boncengan kepadaku. Upps! Jangan berharap terlalu berlebihan, Kiran! Aku segera menepis pikiran tersebut lalu menjawab pertanyaan kak Julian.
“Ummm, mobil jemputanku belum datang menjemput , kak.” jawabku.
“Oh, rumahmu dimana?” tanya kak Julian.
“Rumahku di Perumnas Edelweiss, kak.” jawabku.
“Oh, kebetulan rumah kakak searah dengan rumahmu. Bagaimana jika kakak yang mengantarkamu pulang. Ini sudah hampir maghrib lho.” jelas kak Julian.
Oh tuhan, ternyata kau mendengar suara hatiku. Sebuah harapan yang mungkin tidak seberapa tetapi mengandung nilai yang sangat berharga untuk seseorang yang mendapatkannya.
“Ummm, ya sudah. Aku mau kak.” jawabku dengan wajah tersipu malu.
Diperjalanan pulang, aku berharap terjebak dalam macet yang lumayan panjang. Sehingga aku memiliki waktu yang lebih lama lagi dengan kak Julian. Bintang mulai menampakkan jati dirinya. Mulai mengeluarkan cahayanya yang amat cantik. Bersama bulan yang juga ikut menampakkan dirinya bersama bintang. Semua ini patut aku syukuri. Sebuah anugerah yang tidak ternilai harganya. Dilain hati, ternyata ada sebuah perasaan yang tengah mengalami musim semi dengan bunga-bunga yang tumbuh berekaran didalamnya.
“Bintang, seandainya kau tahu perasaanku hari ini. Aku ingin kau menyampaikan perasaanku hari ini kepada orang yang berada disampingku saat ini.” kataku dalam hati.
Tidak terasa aku sudah sampai didepan gerbang rumahku. Aku segera menyampaikan ucapan terima kasihku kepada malaikat tak bersayapku hari ini.
“Ummm... kak Julian makasih ya atas pertolongan kakak hari ini. Aku berhutang budi dengan kakak.” ucapku.
“Kiran Vania, kamu tidak usah mengucapkan kata-kata yang berlebihan untuk kakak. Kakak hanya memberikan pertolongan yang biasa kepadamu hari ini.” balas kak Julian.
Sungguh, sebuah peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan. Hari ini aku bisa mencicipi sedikit rasa manis dari sebuah kehidupan. Berawal dari pikiranku yang buruk terhadap kegiatan MOS yang berujung dengan sebuah peristiwa yang amat manis dalam hidupku. Tuhan, terima kasih karena Engkau telah mengizinkanku untuk mencicipi sedikit rasa manis yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.



TAMAT

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda