SEDIKIT
RASA MANIS
oleh
Afifa Nursari
MOS (Masa Orienstasi Siswa). Yup! Sebuah kata yang sangat
singkat tapi bermakna menakutkan menurutku. Akhir-akhir ini aku sering pusing
memikirkan kata itu. Entah apa yang ada dipikiranku, tapi yang jelas menurutku
MOS adalah sebuah kata yang secara tidak langsung berujung pada penyiksaan dan
korban tragis para panitia MOS.
Apalagi
jika menyangkut pasal tentang senior, dijamin tidak ada satupun junior yang
berani membantah perkataan seniornya.
Matahari bersinar terang. Perlahan masuk sinar matahari melalui sela-sela gorden kamarku yang bermotif bunga tulip. Selimut polkadot kesayanganku masih setia menemani. Tetapi ada satu hal yang aku lupa.
Matahari bersinar terang. Perlahan masuk sinar matahari melalui sela-sela gorden kamarku yang bermotif bunga tulip. Selimut polkadot kesayanganku masih setia menemani. Tetapi ada satu hal yang aku lupa.
“Sayaang...
ini sudah jam 6 lewat lima belas menit. Kamu lupa ya? Ini kan hari pertama MOS.”
teriak mama dari luar kamar.
Oh
tuhan! Bagaimana bisa aku bangun kesiangan di hari yang sangat mengerikan ini?
Hari ini adalah hari pertama MOS.
“Iya,
mama sayang. Kiran sudah bangun kok.” balasku dengan mata yang masih menutup.
Dengan rasa malas yang menempel dalam tubuhku, akhirnya
kurelakan untuk meninggalkan selimut polkadotku demi menyambut hari yang
mengerikan ini. Ditengah perjalanan menuju sekolah baruku, yang ada dipikiranku
adalah bertemu dengan kakak senior dengan wajah galak dan menyeramkan laksana
serigala didalam hutan. Membayangkannya saja aku tidak berani, apalagi bertatap
muka secara langsung.
SMA Bunga Pertiwi merupakan sekolah favorit dikotaku.
Tidak semua orang bisa bersekolah di sekolah ini. Mungkin karena keberuntungan,
takdir atau apalah, sehingga aku bisa bersekolah disekolah ini. Tetapi sebelum
aku bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi murid disekolah ini, aku harus
bisa melewati sebuah tahap yang amat sangat susah untuk melewatinya yaitu MOS.
Oh tuhan!
“Tuhan, bantulah
aku dalam melewati hari ini. Semoga semua yang aku bayangkan tidak menjadi
nyata. Amin!” ucapku pelan.
“Amin!!!”
jawab Viona.
“Eh,
kok tiba-tiba kamu ada disini? Mobil aku kan baru aja sampai. Kok kamu bisa ada
disamping mobilku?” tanyaku dengan rasa keheranan yang berlebihan.
“Santai aja, Kiran! Tadi waktu aku jalan menuju lobby sekolah ini, nggak sengaja aku
lihat mobil kamu parkir. Jadi langsung aja aku nyamperin kamu.” jawab Viona
dengan santai.
“Oh, aku pikir kamu ngikutin mobil aku dari
belakang.” jelasku.
“Huuuu,
emang kamu pikir aku fans kamu. Eh, kita langsung menuju ke lapangan aja yuk!
Ini sudah jam 7 lewat.” ajak Viona.
“Baiklah
Viona cantik.” jawabku.
Viona adalah satu-satunya sahabat yang aku punya. Dia
rela datang ke rumahku hanya untuk mendengarkan isi hatiku. Dia juga rela
mengajariku mengejarkan tugas Kimia yang menumpuk. Menurutku dia adalah tipe
seorang sahabat yang sangat aku dambakan sekaligus diinginkan setiap orang. Dia
juga tipe seorang cewek yang ceria, ramah, tidak sombong, rajin menabung dan
rajin mengerjakan pr.
“Kiran Vania dari SMP Tunas Bangsa masuk dikelompok
Pattimura. Lidya Alviona dari SMP Tunas Bangsa masuk dikelompok Pattimura.” jelas
panitia Mos.
“Yeey, ternyata kita masuk dalam kelompok yang
sama!” ucapku girang.
“Ternyata
doaku tadi pagi terkabul! Terima kasih Tuhan!” jawab Vania.
“Kelompok
Pattimura masuk kedalam ruang Himalaya.” jelas panitia MOS.
“Mari
Kiran! Kita langsung meluncur ke ruang Himalaya.” ajak Viona.
“Ok,
Vania!” jawabku dengan bersemangat.
Beberapa menit kemudian kami sudah sampai didepan ruang
Himalaya. Ternyata sudah banyak peserta MOS lain yang sudah sampai lebih dulu
dari kami. Tetapi mereka semua belum dipersilahkan masuk. Kami semua diminta
berbaris terlebih dahulu sebelum memasuki ruangan.
“Baiklah
adik-adik, sebelum memasuki ruangan ada baiknya kalian untuk berbaris terlebih
dahulu. Dalam hitungan ketiga, kalian sudah berbaris dengan rapi! Satu! Dua!” perintah
panitia MOS.
“Cepaaat!
Gesiiit!” teriak panitia MOS yang lain.
Hal semacam ini tidak pernah terpikirkan oleh. Ternyata
selain dibully, kami juga dilatih
untuk melakukan sesuatu dengan sigap dan gesit. Dengan tergesa-gesa akhirnya
aku berhasil masuk kedalam ruangan dengan tempo yang cepat. Tetapi sebelum
masuk kedalam ruangan, sebelumnya kami diberi ID card yang berisi identitas kami. Termasuk nama lengkap, asal
sekolah dan tanggal lahir.
“Untuk yang berada didalam ruangan ini, tidak ada satupun
peserta MOS yang duduk sebangku dengan teman yang asal sekolahnya sama!” perintah
panitia MOS.
“Siap!
Terima kasih!” jawab kami dengan lantang.
“Gesiit!”
teriak panitia MOS.
Aku
yang tadinya duduk sebangku dengan Viona kini berganti dengan seorang cewek
berkulit putih dengan hidung mancung. Tidak sengaja saat kulihat namanya di ID card, ternyata cewek berkulit putih
dengan hidung mancung ini bernama Della Mutiara. Sebuah nama yang cantik
menurutku.
“Hai, perkenalkan namaku Kiran Vania!” kenalku.
“Hai
Kiran! Namaku Della Mutiara. Senang berkenalan denganmu!” balasnya dengan
senyuman semanis madu.
Senyum
manisnya membuat murid yang duduk dibelakangku terpana melihatnya. Mungkin dia
terjebak dalam cinta pada pandangan pertama. Wah...wah... senyumnya yang manis
memang tidak dapat dipungkiri. Belum lama aku menikmati udara sejuk di dalam
ruangan ini, tiba-tiba saja panitia MOS memanggilku.
“Hei
kamu yang duduk didepan yang memakai bando ungu, ayo maju ke depan!” perintah
panitia MOS.
“Ummm,
saya kak?” tanyaku.
“Iya
kamu. Emang ada cewek lain diruangan ini yang pake bando ungu selain kamu?” balas
panitia MOS dengan wajah galak.
“Oh,
iya kak” jawabku singkat.
Aku
akhir maju didepan ruangan kelas dengan wajah yang masih malu-malu kucing.
“Eh kamu, kenapa kamu tadi ngobrol? Emang ada yang nyuruh
kamu untuk ngobrol?” tanya panitia MOS dengan galak.
“Ummm...
ummmm...” jawabku sambil berpikir.
“Ayo
jawab! Jawab pertanyaan gampang aja kok repot.” paksa panitia MOS dengan mata
membelalak.
“Nggak
ada kak.” jawabku sambil menunduk.
“Karena
kamu sudah membuat kesalahan yang fatal, sebagai hukumannya kamu harus
menyanyi!” perintah panitia MOS.
“Hah??? Menyanyi???” jawabku sambil kebingungan.
“Iya
menyanyi, emang salah? Kalo nggak mau nyanyi, berarti kamu siap untuk push up sebanyak 20 kali. Gimana?” ancam
panitia MOS sambil menaikkan alisnya yang sebelah kiri.
“Eh,
nggak kak. Makasih atas tawarannya. Aku pilih menyanyi aja deh.” jawabku dengan
wajah memelas.
Akhirnya
dengan wajah terpaksa, kurelakan semua orang mendengarkan suara emasku yang
selembut kain sutera. Diam-diam tanpa sepengetahuanku, salah satu panitia MOS
dengan model rambut dipotong cepak memperhatikanku sedari tadi. Namanya Julian
Adrian. Postur tubuhnya tinggi dengan warna kulit sawo matang plus kacamata dengan frame berwarna hitam. Dilihat dari
fisiknya, bisa ditebak jika dia adalah salah satu anggota dari ekskul Paskibra.
Yup! Tipe seorang cowok yang sangat diinginkan oleh setiap cewek.
“Suara
kamu lumayan juga. Udah sana duduk. Lama-lama bosen juga liat muka kamu yang
abstrak.” perintah panitia MOS.
“Iya, kak. Makasih.” jawabku sambil tersenyum kecut.
“Baiklah adik-adik, sekarang saatnya kami kakak
panitia MOS untuk memperkenalkan diri. Sebelumnya apakah ada yang tahu nama
kami atau salah satu diantaranya?” tanya panitia MOS.
“Belum, kak!” jawab kami serentak.
“Baiklah
kami menjadi mentor kalian selama mengikuti acara MOS ini. Kalian mempunyai 3
orang kakak mentor. Nama saya Yasmin Adelia dari kelas XI IPA 2. Disini saya
mempunyai dua orang rekan yang sangat manis. Silahkan!”
ucap panitia MOS yang
bernama Yasmin Adelia.
“Perkenalkan nama saya Nino Hamzah dari kelas XI IPS
2.” jelas
kak Nino.
“Baiklah saya kakak mentor kalian yang terakhir. Perkenalkan
nama saya Julian Adrian dari kelas XI IPA 4.”
jelas kak Julian dengan
wajah sumringah.
Saat
itu aku masih kesal dengan ulah kak Yasmin yang sangat menjengkelkan bagiku,
tetapi saat aku menatap kedepan dan melihat wajah kakak panitia MOS yang terakhir
memperkenalkan diri semuanya menjadi berubah. Seakan ada sesuatu yang membuatku
menjadi lebih berwarna. Ada sebuah cahaya yang menyinari perasaanku saat
menatap wajah kakak panitia MOS yang satu ini. Mungkin ini namanya yang disebut
dengan first love.
Jujur, sebelumnya aku belum
pernah merasakan hal ini. Tetapi saat aku menatap wajah kak Julian, ternyata
dia menatap balik wajahku.
Spontan aku mengalihkan pandanganku. Wajahku memerah, tetapi
kuberanikan untuk menatap lagi wajah kak Julian. Barangkali tadi hanya
imajinasiku saja. Diluar dugaan, ternyata kak Nino malah memberikan senyum
simpul kepadaku. Aku sontak kaget, tetapi senyum kak Nino kubalas dengan sebuah
senyuman yang tidak kalah manis dengan senyumnya.
Oh tuhan! Inikah yang
namanya love? Belum sempat memikirkannya, tiba-tiba kak Yasmin
menjelaskan sesuatu.
“Ehem… ehem… untuk kalian peserta MOS, hari ini dari
pukul 09.00 sampai pukul 11.00 kalian diminta untuk meminta tanda tangan
seluruh pengurus OSIS. Jumlah pengurus OSIS adalah 20 orang dan semuanya
menjadi panitia MOS. Apabila diantara kalian ada yang tidak lengkap tanda
tangannya, bersiap-siap menerima hukuman dari kami. Paham?”
jelas kak Yasmin.
“Pahaaam, kak!”
jawab kami.
“Hah???
Tanda tangan anggota OSIS, itu artinya aku akan meminta tanda tangan kak
Julian.” kataku dalam hati.
Tapi dibalik semua itu aku mendapatkan sebuah
kebahagiaan yang tidak biasa.
“Tuhan, semoga aku bisa mendapatkan tanda tangan kak
Julian dan semua tanda tangan seluruh pengurus OSIS.”
ucap lembut.
Tiba-tiba kak Nino memberikan isyarat bahwa 2 menit
lagi acara meminta tanda tangan akan dimulai.
“Baiklah mulai sekarang kalian diperbolehkan untuk
meminta tanda tangan pengurus OSIS.” jelas kak Nino.
Tetapi
tanpa aku sadari ternyata perasaanku bagaikan gayung bersambut. Tanpa aku
ketahui ternyata sepasang bola mata memperhatikanku dari sudut sana. Ya,
ternyata kak Julian sejak tadi terus memperhatikanku. Bahkan dia juga berusaha
untuk mencari info tentangku tanpa aku ketahui.
“Viona sudah berapa banyak kamu mendapatkan tanda
tangan?” tanyaku kepada Viona sambil berlari.
“Aku sudah mendapatkan semuanya. Tanda tanganmu sudah
berapa?” Viona balik bertanya.
“Masih kurang 2 tanda tangan lagi, Viona. Tanda tangan
kak Nino dan kak Julian. Kira-kira mereka berdua ada dimana ya?”
tanyaku.
“Tadi
aku melihat mereka berdua ada dipinggir kolam didepan Lab. Biologi. Semangat!
Kamu pasti bisa!” teriak Viona.
“Iya, Viona. Makasih atas infonya.”
jawabku.
Dengan tergesa-gesa aku berlari menuju Lab. Biologi.
Benar saja, ternyata kak Nino dan kak Julian masih berada dipinggir kolam.
Tetapi mereka juga masih dikerumuni oleh peserta MOS lain yang ingin
mendapatkan tanda tangan mereka berdua. Ternyata sial menghinggapi nasibku hari ini. Tanpa
aku sadari ternyata didepanku ada sebuah kulit pisang. Alhasil, aku terjerembab
didepan sepatu kak Julian. Wajahku langsung memerah. Kak Julian hanya tersenyum
melihat ulahku.
“Makanya
kalo jalan pake mata. Ini kakak ada plester obat buat kamu.” saran kak Julian.
“Makasih
kak!” jawabku.
Tuhan,
inikah sebuah anugerah terbesar yang kau berikan kepadaku? Ternyata dibalik
postur tubuhnya yang ideal, ternyata sikapnya juga ideal.
“Plester
obat ini tidak akan aku buang. Plester obat ini akan aku simpan.” ucapku dalam
hati.
Akhirnya
aku berhasil mendapatkan semua tanda tangan pengurus OSIS. Tetapi sepertinya
waktu tidak mendukung. Ketika kulirik Albaku, ternyata waktu menunjukkan bahwa
sekarang pukul 11.15. Terlambat 15 menit! Tuhan, usir kesialan yang
menghinggapi nasibku hari ini. Setibanya diruangan aku tidak diperbolehkan
masuk ke dalam. Ternyata kak Yasmin menghadangku di depan pintu ruangan.
Beragam pertanyaan yang menurutku terus mencercaku.
“Eh kamu, kamu nggak tahu ini sudah pukul berapa? Tahu
nggak?” tanyanya sambil sedikit membentak.
“Tahu,
kak.” jawabku dengan suara lirih.
“Udah
Yasmin, jangan hukum dia. Tadi dia jatuh didepanku, kakinya luka.” jelas
seseorang dengan suara berwibawa.
Dari
suaranya aku mulai hafal, dia adalah malaikat tanpa sayapku hari ini. Yup! Itu
suara kak Julian. Ternyata tuhan sangat baik kepadaku hari.
“Makasih kak.” jawabku dengan senyum manis.
“Sama-sama.
Lain kali kamu harus lebih hati-hati.” balasnya dengan suara yang tegas.
Tidak
terasa sudah saatnya waktu pulang.
“Baiklah
adik-adik, sebelum kita pulang mari kita berdoa terlebih dahulu.” ujar kak
Nino.
Suasana
ruangan seketika menjadi hening. Kami satu persatu keluar dari ruangan dengan
berbagai perasaan yang berbeda. Viona sudah lebih dulu pulang karena mamanya
sudah menjemputnya. Tidak terasa sudah satu jam lebih aku menunggu mobil
jemputan, tetapi tidak kunjung datang juga. Sekolah perlahan menjadi sepi.
Motor di parkiran juga perlahan menjadi sedikit. Hanya ada sebuah motor
berwarna merah hati dengan plat B 1872 EZ. Aku masih duduk termangu ditaman
dekat gerbang sekolah.
Matahari
mulai masuk keperaduannya. Tiba-tiba ada seorang laki-laki dengan postur tubuh
tinggi dekat jaket berwarna merah terang memasuki area parkiran. Ketika
melewati taman dekat gerbang sekolah, motor tersebut berhenti. Laki-laki tersebut
menghampiriku, kemudian membuka kaca helm yang berwarna hitam gelap.
“Kamu
belum pulang? Ini sudah mau maghrib lho.” jelasnya.
Ternyata
laki-laki tersebut adalah kak Julian, jangan-jangan kak Julian akan menawarkan
boncengan kepadaku. Upps! Jangan berharap terlalu berlebihan, Kiran! Aku segera
menepis pikiran tersebut lalu menjawab pertanyaan kak Julian.
“Ummm,
mobil jemputanku belum datang menjemput , kak.” jawabku.
“Oh,
rumahmu dimana?” tanya kak Julian.
“Rumahku
di Perumnas Edelweiss, kak.” jawabku.
“Oh,
kebetulan rumah kakak searah dengan rumahmu. Bagaimana jika kakak yang
mengantarkamu pulang. Ini sudah hampir maghrib lho.” jelas kak Julian.
Oh
tuhan, ternyata kau mendengar suara hatiku. Sebuah harapan yang mungkin tidak
seberapa tetapi mengandung nilai yang sangat berharga untuk seseorang yang
mendapatkannya.
“Ummm,
ya sudah. Aku mau kak.” jawabku dengan wajah tersipu malu.
Diperjalanan
pulang, aku berharap terjebak dalam macet yang lumayan panjang. Sehingga aku
memiliki waktu yang lebih lama lagi dengan kak Julian. Bintang mulai
menampakkan jati dirinya. Mulai mengeluarkan cahayanya yang amat cantik.
Bersama bulan yang juga ikut menampakkan dirinya bersama bintang. Semua ini
patut aku syukuri. Sebuah anugerah yang tidak ternilai harganya. Dilain hati,
ternyata ada sebuah perasaan yang tengah mengalami musim semi dengan
bunga-bunga yang tumbuh berekaran didalamnya.
“Bintang,
seandainya kau tahu perasaanku hari ini. Aku ingin kau menyampaikan perasaanku
hari ini kepada orang yang berada disampingku saat ini.” kataku dalam hati.
Tidak
terasa aku sudah sampai didepan gerbang rumahku. Aku segera menyampaikan ucapan
terima kasihku kepada malaikat tak bersayapku hari ini.
“Ummm...
kak Julian makasih ya atas pertolongan kakak hari ini. Aku berhutang budi
dengan kakak.” ucapku.
“Kiran
Vania, kamu tidak usah mengucapkan kata-kata yang berlebihan untuk kakak. Kakak
hanya memberikan pertolongan yang biasa kepadamu hari ini.” balas kak Julian.
Sungguh,
sebuah peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan. Hari ini aku bisa mencicipi
sedikit rasa manis dari sebuah kehidupan. Berawal dari pikiranku yang buruk
terhadap kegiatan MOS yang berujung dengan sebuah peristiwa yang amat manis
dalam hidupku. Tuhan, terima kasih karena Engkau telah mengizinkanku untuk
mencicipi sedikit rasa manis yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
TAMAT
Label: Cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda